Jumat, 05 Juni 2020

ANAK-ANAK PESISIR TANJUNG BATU


ANAK-ANAK PESISIR TANJUNG BATU

Tidak pernah terpikir olehku untuk terbesit dalam benak menjadi seorang pendidik atau aku dipanggil seorang guru. Itu terjadi disaat era reformasi dimana pemerintahan pak Harto harus berakhir pada Mei 1998 sehinnga Indonesia memasuki tonggak sejarah baru. Reformasi diawali dengan krisis moneter sejak Juli 1997 dimana mata uang rupiah dan negara-negara Asia Tenggara terpukul. Pada tanggal 1 Agustus 1977 nilai rupiah dari Rp 2.575 menjadi Rp 2.603 per dolar AS. Kemudian, 1 Desember 1997 menjadi Rp 5.000 per dolar AS. Pada maret 1998 terpuruk hingga Rp 16.000 per dolar AS. Krisis moneter tersebut membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0%, bisnis lesu dan 16 bank dilikuidasi.
Perjalanan Panjang di era reformasi inilah menjadi bom waktu bagiku disaat aku masih binggung untuk melangkahkan kakiku menuju masa depan yang hanya bayang-bayang bagiku. Aku seorang anak muda yang pada saat itu ingin bercita-cita menjadi seorang politikus itu karena seneng aja dengan politik karena sangant hoby sekali dengan argument-argumen yang gak jelas. Aku hanya lulusan SMA dengan jurusan SOS pada saat dijamanku klo sekarang jurusan IPS untuk SMA masa sekarang. Namun di era reformasi dengan gejolaknya yang begitu panas dan Gerakan tersebut menuntut banyak  pembaharuan yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan yang pasti diantaranya UU NO.1 tahun 1985 tentang pemilihan umum. Tapi bagiku tidak teralu mikir dan ambil pusing karena saat itu yang ada kulihat dimedia-media adalah tentang kebrutalan manusia yang membuat aku berpikir dimana tata krama kita dimana rasa kemanusian kita kenapa ini harus terjadi.
Maka pada saat itu hati dan pikiranku ikut terketuk ambil peduli akan permasalahan bangsa ini, apa ada yang salah pada sistem negara ini atau sistem pendidikannya. Aku terpikir kayaknya sistem pendidikannya atau Pendidiknya yang tidak dapat merubah ahklak anak bangsa. Tapi sudahlah, toh pada saat itu saya hanya bisa melihat merenungkan dan sedih saja. Kalau kita mau jujur, rasa-rasanya memang sudah lama saya menginginkan menjadi seorang guru namun karena gengsi menutupi hati maka saya urungkan niat itu. Karena kita pasti tau bagaimana sih pengabdian seorang guru di era orde baru ?

Tanjung Batu

Pada tahun 1997 status kota Tarakan hanya kota Administratif dan saya sendiri lahir dikota yang hanya sebuah pulau dikalimantan. Sedikit cerita tentang kotaku ini, Kota Tarakan merupakan kota terbesar ketiga di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia dan juga merupakan kota terkaya ke-17 di Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 657,33 km² dan sesuai dengan data badan kependudukan catatan sipil dan keluarga berencana kota Tarakan pada tahun 2010 berpenduduk sebanyak 193.069 jiwa. Tarakan atau juga dikenal sebagai bumi paguntaka, berada pada sebuah pulau kecil yang terletak diutara Kalimantan Timur. Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari Bahasa tidung “Tarak” (bertemu) dan “ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat diartikan “Tempat para nelayan untuk istirahat makan, bertemu serta melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan lain. Selain itu Tarakan juga merupakan tempat pertemuan arus muara sungai kayan, Sesayap dan Malinau.
Tanjung batu, merupakan sebuah kampung dipinggiran pantai yang biasa disebut pantai amal. Sebelum saya menggambarkan keadaan desa Tanjung batu saya akan menceritakan sedikit kenapa saya bisa jadi guru? Untuk apa  saya jadi guru? Ceritanya Panjang sob gak cukup klo hanya lima halaman saja…hahaha
Saya bisa jadi guru itu dikarenakan pada tahun 1998 ada beasiswa bagi yang berminat menjadi guru SD dan akan disekolahkan di sebuah Universitas negeri Samarinda dengan julukan Universitas Mulawarman. Dari sinilah saya belajar dan ingin mengabdikan diri dan mendedikasikan diri ini untuk bangsa dan negara tercinta. By the way, saya lulus diakhir tahun 1999 karena saya mengambil jurusan D2 PGSD jadi waktu kuliah tidak mengitu lama maklum dari pemerintah daerah sendiri memang jatah Cuma sampai diploma saja. Diawal tahun 2000 saya sudah Kembali kekampung halaman kota Tarakan tempat kelahiran.

Kita Kembali ke desa Tanjung Batu tepatnya dipinggiran kota Tarakan atau disebut pantai amal. Desa yang merupakan tempat terpencilnya kota Tarakan pada saat ditahun 2000 dikarenakan akses untuk kedesa tersebut hanya melewati jalan setapak atau melewati pinggiran pantai. Loh, kok jadi menceritakan desa Tanjung Batu apa ada hubungannya dengan saya, ya adalah karena disanalah tempat saya pertama kali ditugaskan mengajar dan mendidik sebagai guru kontrak. Disanalah pertama kalinya saya mengabdikan diri untuk mendidik anak-anak bangsa yang tinggal di daerah pesisir pantai bahkan terisolir oleh gemerlapnya kehidupan kota. Bahkan untuk mencapai kedesa tanjung Batu bisa menggunakan kendaraan roda dua namun jalan sangat jelek dan tak layak untuk dilewati itupun klo ada ojek yang mau atau dengan berjalan kaki dengan jarak 1 kilometer lebih. Akses yang agak enakan bisa lewat pinggiran pantai karena jalannya berpasir.
Desa Tanjung Batu pantai amal termasuk wilayah yang masuk di kecamatan Tarakan timur dengan kelurahannya adalah Mamburungan. Untuk mencapai kelurahannya sendiri sangat jauh, jadi pada saat itu Tanjung Batu sangat rumit untuk mengakses tempat-tempat pemerintahan Desa karena memang saat itu masih sangat terisolir. Untuk kekota saja kita harus keluar berjalan kaki untuk menuju akses dimana angkot berhenti tepatnya di pantai Amal wisata dengan jarak 1 kilometer lebih dan jika kita sudah sampai harus menunggu berjam-jam angkot yang akan kita tumpangi. Bahkan walaupun angkot sudah ada kita harus menunggu lagi dengan penumpang yang lain yang akan menuju kekota dengan kata lain penumpang penuh maka angkot akan segera berangkat menuju kota dengan waktu tempuh pada saat itu kurang lebih 50 menit belum lagi waktu nunggu berangkatnya saja butuh kurang lebih 3 hingga 4 jam. Sehingga saya hanya menghabiskan waktu di terminal pantai amal dengan berjam-jam. Nah, itu sekilas tentang gambaran Desa Tanjung Batu dimana disanalah tempat pertama kali saya harus mengabdikan diri sebagai seorang guru.
Selanjutnya, apa sih yang yang menjadi kisah inspiratif dari pengalaman saya Ketika mengajar di Desa Tanjung Batu tersebut. Desa Tanjung Batu adalah desa yang dimana penduduknya mayoritas suku bugis campuran dan rutinitas kesehariannya adalah nelayan dan petambak Sebagian berkebun. Sedangkan anak-anak mereka hanya mengenyam Pendidikan hingga sekolah dasar pada masa saya mengabdi didesa tersebut. Diantara anak laki-laki yang telah lulus sekolah dasar mereka tidak melanjutkan kesekolah tingkat menengah karena mereka akan membantu orang tuanya kelaut atau menjadi nalayan. Nah, yang membuat saya prihatin adalah anak perempuan mereka yang pada masa itu jika mereka lulus dari tingkat sekolah dasar mereka akan menikah walau usia mereka masih sangat muda, padahal potensi anak-anak disana sangat mumpuni untuk melanjutkan ketingkat selanjutnya itu dikarenakan akses untuk melanjutkan kejenjang selanjutnya sangatlah jauh menuju sekolah yang dituju. Tentu bukan karena mereka tidak mampu tapi lebih pada akses trasportasi yang pada saat itu kurang memadai karena untuk melanjutkan ketingkat SMP bila ditempuh berjalan kaki bisa memakan waktu 3 hingga 4 jam lamanya. Inilah yang membuat mereka harus bekerja membantu orang tuanya dan anak perempuan mau tidak mau harus menikah. Oke, kita lanjut singkatnya dengan keadaan tersebut membuat saya terpacu untuk mencoba merubah keadaan tersebut dengan catatan saya harus bisa dan mampu beradaptasi dengan keadaan yang ada, baik dari segi budaya dan karakter masyarakat disana. Bagi saya sendiri tentulah tidak mudah karena ini sudah terpola jadi saya berpikir hanya dengan anak-anak mereka yang mau bersekolahlah yang akan saya ubah pola pikirnya walaupun hanya tingkat sekolah dasar dengan cara memotivasi mereka.
By the way, pada saat saya ditugaskan di desa Tanjung Batu yang pada saat itu saya masih bujang dan saat itu umur saya baru 25 tahun harus meninggalkan kesenangan masa remaja saya dan memang itulah tantangannya menjadi seorang guru didaerah pesisir pantai. Kebetulan saya pada saat itu mendapatkan rumah dinas yang kebetulan hanya bersebelahan dengan sekolah tersebut. Pada hari pertama saya bertugas saya semalaman tidak bisa tidur dikarenakan masih terasa asing bagi saya ditempat yang sepi jauh dari keramaian yang biasanya saya selalu merasakan tempat yang ramai, maklum saya dulunya tinggal dikota. Namun lama-kelaman saya jadi terbiasa dengan suasana desa tersebut. Pada hari pertama saya mengajar saya bangunnya agak awal itu karena saya harus memberikan contoh pada anak-anak pesisir untuk membiasakan disiplin waktu, namun kenyataan sangat berbalik dari yang saya pikirkan. Seharusnya masuk kelas itu pada jam 07.30 pagi ternyata itu tidak terjadi pada SDN tanjung batu tersebut karena ternyata saya harus menunggu mereka pada jam 08.30 jadi disini guru menunggu murid bukan murid menunggu gurunya. Itulah keadaan yang saya dapatkan selamanya mengajar disana itu tidak lain dikarenakan rumah mereka jauh dari sekolah. Jumlah murid saya pada saat itu hanya 32 siswa dan sudah mencakup dari kelas satu hingga enam jadi dalam satu kelas ada yang empat siswa bahkan satu kelas hanya ada satu siswa tepatnya kelas empat.
Sekolah SDN Tanjung Batu Tarakan hanya mempunyai dua orang guru satu gurunya seorang ibu yang sudah berkeluarga dan satunya saya sendiri. Saya sendiri mengajar mulai kelas 3,4,5 dan 6 dan teman saya mengajar kelas 1 dan 2 nama beliau adalah ibu Mariati yang sudah cukup lama mengabdi di SD tersebut. Namun itu tidak menjadi problem bagi saya karena itu adalah tantangan bagi saya bagaimana saya bisa dapat merubah tatanan dalam pola berpikir anak-anak disana bahwa sesungguhnya Pendidikan itu dapat merubah kehidupan mereka dan mereka dapat merubah desa tersebut menjadi lebih maju dan dikenal oleh masyarakat kota karena masyarakat kota Tarakan hanya mengenal pantai amal bukan tanjung batunya. Sedangkan saya sendiri baru tahu desa tanjung batu kalau bukan saya sendiri yang menginjakkan kaki didesa tersebut. Padahal kalau dipikir saya juga lahir dikota Tarakan namun saya hanya mengenal pantai amal, eh ternyata masih ada desa lagi didalamnya hehe.
Oke, kisah ini akan saya singkat saja tidak usah bertela-tele kalau saya ceritakan dengan detail bisa-bisa jadi satu buku…hahaha. Metode yang saya ajarkan saat saya menjadi pendidik disana hanya sederhana sekali saya menggunakan dengan metode belajar bersama alam. Saya lebih banyak mengenalkan anak-anak dengan lingkungan mereka yang kaya dengan hasil lautnya walaupun yang saya lakukan sederhana sekali. Karena pada saat itu saya juga ikut belajar bersama mereka yang notabenenya mereka adalah anak-anak yang cerdas dan kreatif. Mereka adalah anak-anak yang mandiri walaupun hanya anak SD, mereka pintar sekali mencari kepiting, menjala udang bahkan mencari kapah sejenis kerang apalagi memanjat pohon kelapa mereka sangat jago sekali. Dari sinilah pada saat saya mengajarkan mereka diluar kelas saya mulai memotivasi mereka bahwa sesungguhnya kalian itu lebih hebat dari anak-anak kota kalian mempunyai potensi yang besar untuk merubah tatanan kehidupan dari hanya seorang anak nelayan bisa menjadi yang lebih dari orang tua kalian. Kalian bisa menempuh Pendidikan bukan hanya sekolah dasar saja tapi kalian bisa kuliah dan menjadi sarjana karena kalian itu mampu menguasai alam pesisir pantai. Tiap waktu tiap hari selalu saya motivasi mereka dengan kata-kata bahwa kalian bisa kalian mampu. Hingga terkadang saya bosan juga lelah namun saya tetap semangat dan harus bisa merubah keadaan anak-anak disana bahwa sesungguhnya Pendidikan itu sangat penting.
Alhasil, selama kurun dua tahun saya mengabdi didesa tersebut mulai terlihat semangat orang tua mereka untuk menyekolahkan anaknya ketingkat selanjutnya yaitu SMP, SMA dan mengikuti perguruan tinggi. Itu dikarenakan pemerintah daerah mulai memperhatikan desa tersebut dan mulai membuka akses untuk menuju kedesa tersebut. Padahal saat akses jalan belum dibuka sebagian murid saya yang lulus dari SD tanjung batu harus rela tinggal dikota untuk melanjutkan SMP dikota dan harus berpisah dengan orang tua mereka. Alhamdulillah, saya mulai merasakan betapa bahagianya hati ini perjuangan untuk meyakinkan mereka tidak sia-sia bahkan orang tua merekapun sangat antusias untuk menyekolahkan anak-anaknya kejenjang selanjutnya. Bahkan salah satu murid saya tidak akan saya sebutkan namanya saat ini sudah mengenyam S2 di Makassar dan alhamdulillah sudah selesai. Hampir semua anak-anak SD tanjung batu meneruskan sekolahnya hingga kuliah itu dikarenakan akses untuk kuliah sangat dekat tepatnya Universitas Borneo dibangun diwilayah pantai Amal.
Hal yang membuat saya sangat sedih dan Bahagia adalah Ketika saya harus Kembali kekota dikarenakan masa tugas saya sudah berakhir. Perpisahan itu sangat menyedihkan harus meninggalkan mereka disaat mereka lagi semangatnya berjuang meraih masa depan. Pada saat itu saya hanya tersenyum dan mengatakan kalian jangan menyerah teruslah buktikan bahwa anak pesisir juga bisa bersekolah lebih tinggi dan bisa sejajar dengan anak-anak dikota bahkan lebih dari itu. Tentunya, yang namanya perpisahan pastilah mengharukan biasalah terharu biru dengan berlinang air mata. Disisi yang lain kebahagiaan yang saya rasakan disaat itu adalah saat saya kuliah untuk melanjutkan kejenjang S1 PGSD diUniversitas Borneo dimana saat itu saya hanya tamatan D2 PGSD dan diharuskan melanjutkan ke S1 agar nantinya saya bisa mengikuti sertifikasi. Saya melanjutkan kuliah pada tahun 2007 disaat yang sama saya bertemu mereka iya mereka anak-anak didik saya disaat saya mengajar ditanjung batu. Entah, apa yang membuat hati ini terharu dan Bahagia bisa bersama-sama mereka kuliah dengan jurusan yang sama, ya Allah mereka ternyata ada juga yang menginginkan menjadi guru seperti saya. Yang membuat saya lebih terharu kenapa kalian ingin menjadi guru seperti bapak, jawab mereka kami ingin lebih hebat seperti bapak dan akan mengajar didesa kami, semakin berlinanglah air mata mendengarnya.
Sungguh proses itu tidak akan mendustai hasil dimana jika kita ada keikhlasan untuk mewujudkan sesuatu maka Tuhan tidak akan diam Dia akan mewujudkannya dengan doa dan harapan yang kita panjatkan. Sekelumit kisah ini sebenarnya Panjang dan penuh liku namun dengan kisah inspiratif  saya yang singkat ini semoga dapat menjadi motivasi bagi kita khususnya guru yang ditugaskan ditempat terdalam. Kita sebagai guru adalah penggerak bagi mereka anak-anak yang tertinggal karena mereka adalah anak-anak Nusantara yang butuh sentuhan, motivasi dan kasih sayang juga perhatian yang disejajarkan.  


PROFIL PENULIS
Sejak tahun 2000 penulis sudah mengabdikan diri sebagai pendidik, sebagai guru kelas di SDN Tanjung Batu, pada saat itu sebagai tenaga kontrak dan mengabdi selama 2 tahun lebih. Pada tahun 2002 penulis ditempatkan di SDN 020 Sebengkok. Tahun 2003 penulis diangkat menjadi guru PNS di pemerintahan kota Tarakan dan di tempatkan di SDN 006 Kampung 4 Tarakan. Saat ini penulis bertugas di SDN 003 Tarakan dan mulai bertugas pada tahun 2013 sampai saat ini.
Penulis juga merupakan penulis artikel, ada beberapa artikelnya yang sudah di muat oleh beberapa media surat kabar lokal dan daerah. Beberapa artikel yang pernah masuk baru-baru ini adalah “Guru dan Teknologi harus bijaksana menyikapinya” dan “ Menakar PPDB Sekolah Muhammadiyah ditengah pandemi Covid-19” yang diterbitkan oleh tabloid Mata Hati Malang Raya Jawa Timur. Saat ini penulis juga sedang Menyusun pembuatan BBS (buku best seller).
Penulis bernama Prayudi Ariessanto, S.Pd juga menjabat sebagai pimpinan Majelis Dikdasmen PDM Tarakan Kalimantan Utara. Penulis lahir di Tarakan pada tanggal 08 April 1975 dan berdomisili di Jl. Mulawarman Tarakan Kalimantan Utara 77111. Apabila ingin menghubungi penulis bisa melalui WA 082153997686 atau email prayudiariessanto052@gmail.com dan bisa juga berkunjung ke blog penulis dengan alamat prayudiariessanto.blogspot.com.

                                Gambar 1. Pantai Amal


   Gambar 2. Aku saat remaja dan Rumahku saat di SD Tanjung Batu




Gambar 3. SDN Tanjung Batu sekarang berubah menjadi SDN 032 Tarakan



                                 Gambar 4. Penulis Saat Ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  WAKAF CINTA By : Yudi Aries Dingin semilir angin malam menusuk kolbu Impianku dalam kerinduan yang teramat dalam Nyanyian damai te...