ANAK-ANAK PESISIR TANJUNG BATU
Tidak pernah terpikir olehku untuk terbesit
dalam benak menjadi seorang pendidik atau aku dipanggil seorang guru. Itu
terjadi disaat era reformasi dimana pemerintahan pak Harto harus berakhir pada
Mei 1998 sehinnga Indonesia memasuki tonggak sejarah baru. Reformasi diawali
dengan krisis moneter sejak Juli 1997 dimana mata uang rupiah dan negara-negara
Asia Tenggara terpukul. Pada tanggal 1 Agustus 1977 nilai rupiah dari Rp 2.575
menjadi Rp 2.603 per dolar AS. Kemudian, 1 Desember 1997 menjadi Rp 5.000 per
dolar AS. Pada maret 1998 terpuruk hingga Rp 16.000 per dolar AS. Krisis
moneter tersebut membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0%, bisnis lesu
dan 16 bank dilikuidasi.
Perjalanan Panjang di era reformasi inilah
menjadi bom waktu bagiku disaat aku masih binggung untuk melangkahkan kakiku
menuju masa depan yang hanya bayang-bayang bagiku. Aku seorang anak muda yang
pada saat itu ingin bercita-cita menjadi seorang politikus itu karena seneng
aja dengan politik karena sangant hoby sekali dengan argument-argumen yang gak
jelas. Aku hanya lulusan SMA dengan jurusan SOS pada saat dijamanku klo
sekarang jurusan IPS untuk SMA masa sekarang. Namun di era reformasi dengan
gejolaknya yang begitu panas dan Gerakan tersebut menuntut banyak pembaharuan yang dianggap menjadi sumber
ketidakadilan yang pasti diantaranya UU NO.1 tahun 1985 tentang pemilihan umum.
Tapi bagiku tidak teralu mikir dan ambil pusing karena saat itu yang ada kulihat
dimedia-media adalah tentang kebrutalan manusia yang membuat aku berpikir dimana
tata krama kita dimana rasa kemanusian kita kenapa ini harus terjadi.
Maka pada saat itu hati dan pikiranku ikut
terketuk ambil peduli akan permasalahan bangsa ini, apa ada yang salah pada sistem
negara ini atau sistem pendidikannya. Aku terpikir kayaknya sistem
pendidikannya atau Pendidiknya yang tidak dapat merubah ahklak anak bangsa.
Tapi sudahlah, toh pada saat itu saya hanya bisa melihat merenungkan dan sedih
saja. Kalau kita mau jujur, rasa-rasanya memang sudah lama saya menginginkan
menjadi seorang guru namun karena gengsi menutupi hati maka saya urungkan niat
itu. Karena kita pasti tau bagaimana sih pengabdian seorang guru di era orde
baru ?
Tanjung
Batu
Pada tahun 1997 status kota Tarakan hanya kota
Administratif dan saya sendiri lahir dikota yang hanya sebuah pulau
dikalimantan. Sedikit cerita tentang kotaku ini, Kota Tarakan merupakan kota
terbesar ketiga di provinsi Kalimantan Timur, Indonesia dan juga merupakan kota
terkaya ke-17 di Indonesia. Kota ini memiliki luas wilayah 657,33 km² dan
sesuai dengan data badan kependudukan catatan sipil dan keluarga berencana kota
Tarakan pada tahun 2010 berpenduduk sebanyak 193.069 jiwa. Tarakan atau juga
dikenal sebagai bumi paguntaka, berada pada sebuah pulau kecil yang
terletak diutara Kalimantan Timur. Tarakan menurut cerita rakyat berasal dari
Bahasa tidung “Tarak” (bertemu) dan “ngakan” (makan) yang secara harfiah dapat
diartikan “Tempat para nelayan untuk istirahat makan, bertemu serta melakukan
barter hasil tangkapan dengan nelayan lain. Selain itu Tarakan juga merupakan
tempat pertemuan arus muara sungai kayan, Sesayap dan Malinau.
Tanjung
batu, merupakan sebuah kampung dipinggiran pantai yang biasa disebut pantai
amal. Sebelum saya menggambarkan keadaan desa Tanjung batu saya akan
menceritakan sedikit kenapa saya bisa jadi guru? Untuk apa saya jadi guru? Ceritanya Panjang sob gak
cukup klo hanya lima halaman saja…hahaha
Saya
bisa jadi guru itu dikarenakan pada tahun 1998 ada beasiswa bagi yang berminat
menjadi guru SD dan akan disekolahkan di sebuah Universitas negeri Samarinda
dengan julukan Universitas Mulawarman. Dari sinilah saya belajar dan ingin
mengabdikan diri dan mendedikasikan diri ini untuk bangsa dan negara tercinta.
By the way, saya lulus diakhir tahun 1999 karena saya mengambil jurusan D2 PGSD
jadi waktu kuliah tidak mengitu lama maklum dari pemerintah daerah sendiri
memang jatah Cuma sampai diploma saja. Diawal tahun 2000 saya sudah Kembali
kekampung halaman kota Tarakan tempat kelahiran.
Kita Kembali ke desa Tanjung Batu tepatnya
dipinggiran kota Tarakan atau disebut pantai amal. Desa yang merupakan tempat
terpencilnya kota Tarakan pada saat ditahun 2000 dikarenakan akses untuk kedesa
tersebut hanya melewati jalan setapak atau melewati pinggiran pantai. Loh, kok
jadi menceritakan desa Tanjung Batu apa ada hubungannya dengan saya, ya adalah
karena disanalah tempat saya pertama kali ditugaskan mengajar dan mendidik
sebagai guru kontrak. Disanalah pertama kalinya saya mengabdikan diri untuk
mendidik anak-anak bangsa yang tinggal di daerah pesisir pantai bahkan
terisolir oleh gemerlapnya kehidupan kota. Bahkan untuk mencapai kedesa tanjung
Batu bisa menggunakan kendaraan roda dua namun jalan sangat jelek dan tak layak
untuk dilewati itupun klo ada ojek yang mau atau dengan berjalan kaki dengan
jarak 1 kilometer lebih. Akses yang agak enakan bisa lewat pinggiran pantai
karena jalannya berpasir.
Desa Tanjung Batu pantai amal termasuk
wilayah yang masuk di kecamatan Tarakan timur dengan kelurahannya adalah
Mamburungan. Untuk mencapai kelurahannya sendiri sangat jauh, jadi pada saat
itu Tanjung Batu sangat rumit untuk mengakses tempat-tempat pemerintahan Desa
karena memang saat itu masih sangat terisolir. Untuk kekota saja kita harus
keluar berjalan kaki untuk menuju akses dimana angkot berhenti tepatnya di
pantai Amal wisata dengan jarak 1 kilometer lebih dan jika kita sudah sampai
harus menunggu berjam-jam angkot yang akan kita tumpangi. Bahkan walaupun
angkot sudah ada kita harus menunggu lagi dengan penumpang yang lain yang akan
menuju kekota dengan kata lain penumpang penuh maka angkot akan segera
berangkat menuju kota dengan waktu tempuh pada saat itu kurang lebih 50 menit
belum lagi waktu nunggu berangkatnya saja butuh kurang lebih 3 hingga 4 jam.
Sehingga saya hanya menghabiskan waktu di terminal pantai amal dengan
berjam-jam. Nah, itu sekilas tentang gambaran Desa Tanjung Batu dimana
disanalah tempat pertama kali saya harus mengabdikan diri sebagai seorang guru.
Selanjutnya, apa sih yang
yang menjadi kisah inspiratif dari pengalaman saya Ketika mengajar di Desa
Tanjung Batu tersebut. Desa Tanjung Batu adalah desa yang dimana penduduknya
mayoritas suku bugis campuran dan rutinitas kesehariannya adalah nelayan dan
petambak Sebagian berkebun. Sedangkan anak-anak mereka hanya mengenyam
Pendidikan hingga sekolah dasar pada masa saya mengabdi didesa tersebut.
Diantara anak laki-laki yang telah lulus sekolah dasar mereka tidak melanjutkan
kesekolah tingkat menengah karena mereka akan membantu orang tuanya kelaut atau
menjadi nalayan. Nah, yang membuat saya prihatin adalah anak perempuan mereka
yang pada masa itu jika mereka lulus dari tingkat sekolah dasar mereka akan
menikah walau usia mereka masih sangat muda, padahal potensi anak-anak disana
sangat mumpuni untuk melanjutkan ketingkat selanjutnya itu dikarenakan akses
untuk melanjutkan kejenjang selanjutnya sangatlah jauh menuju sekolah yang
dituju. Tentu bukan karena mereka tidak mampu tapi lebih pada akses trasportasi
yang pada saat itu kurang memadai karena untuk melanjutkan ketingkat SMP bila
ditempuh berjalan kaki bisa memakan waktu 3 hingga 4 jam lamanya. Inilah yang
membuat mereka harus bekerja membantu orang tuanya dan anak perempuan mau tidak
mau harus menikah. Oke, kita lanjut singkatnya dengan keadaan tersebut membuat
saya terpacu untuk mencoba merubah keadaan tersebut dengan catatan saya harus
bisa dan mampu beradaptasi dengan keadaan yang ada, baik dari segi budaya dan
karakter masyarakat disana. Bagi saya sendiri tentulah tidak mudah karena ini
sudah terpola jadi saya berpikir hanya dengan anak-anak mereka yang mau
bersekolahlah yang akan saya ubah pola pikirnya walaupun hanya tingkat sekolah
dasar dengan cara memotivasi mereka.
By
the way, pada saat saya ditugaskan di desa Tanjung Batu yang pada saat itu saya
masih bujang dan saat itu umur saya baru 25 tahun harus meninggalkan kesenangan
masa remaja saya dan memang itulah tantangannya menjadi seorang guru didaerah
pesisir pantai. Kebetulan saya pada saat itu mendapatkan rumah dinas yang
kebetulan hanya bersebelahan dengan sekolah tersebut. Pada hari pertama saya
bertugas saya semalaman tidak bisa tidur dikarenakan masih terasa asing bagi saya ditempat
yang sepi jauh dari keramaian yang biasanya saya selalu merasakan tempat yang
ramai, maklum saya dulunya tinggal dikota. Namun lama-kelaman saya jadi
terbiasa dengan suasana desa tersebut. Pada hari pertama saya mengajar saya
bangunnya agak awal itu karena saya harus memberikan contoh pada anak-anak
pesisir untuk membiasakan disiplin waktu, namun kenyataan sangat berbalik dari
yang saya pikirkan. Seharusnya masuk kelas itu pada jam 07.30 pagi ternyata itu
tidak terjadi pada SDN tanjung batu tersebut karena ternyata saya harus
menunggu mereka pada jam 08.30 jadi disini guru menunggu murid bukan murid
menunggu gurunya. Itulah keadaan yang saya dapatkan selamanya mengajar disana
itu tidak lain dikarenakan rumah mereka jauh dari sekolah. Jumlah murid saya
pada saat itu hanya 32 siswa dan sudah mencakup dari kelas satu hingga enam
jadi dalam satu kelas ada yang empat siswa bahkan satu kelas hanya ada satu
siswa tepatnya kelas empat.
Sekolah SDN Tanjung Batu Tarakan hanya
mempunyai dua orang guru satu gurunya seorang ibu yang sudah berkeluarga dan
satunya saya sendiri. Saya sendiri mengajar mulai kelas 3,4,5 dan 6 dan teman
saya mengajar kelas 1 dan 2 nama beliau adalah ibu Mariati yang sudah cukup
lama mengabdi di SD tersebut. Namun itu tidak menjadi problem bagi saya karena
itu adalah tantangan bagi saya bagaimana saya bisa dapat merubah tatanan dalam
pola berpikir anak-anak disana bahwa sesungguhnya Pendidikan itu dapat merubah
kehidupan mereka dan mereka dapat merubah desa tersebut menjadi lebih maju dan
dikenal oleh masyarakat kota karena masyarakat kota Tarakan hanya mengenal
pantai amal bukan tanjung batunya. Sedangkan saya sendiri baru tahu desa
tanjung batu kalau bukan saya sendiri yang menginjakkan kaki didesa tersebut.
Padahal kalau dipikir saya juga lahir dikota Tarakan namun saya hanya mengenal
pantai amal, eh ternyata masih ada desa lagi didalamnya hehe.
Oke, kisah ini akan saya singkat saja tidak
usah bertela-tele kalau saya ceritakan dengan detail bisa-bisa jadi satu
buku…hahaha. Metode yang saya ajarkan saat saya menjadi pendidik disana hanya
sederhana sekali saya menggunakan dengan metode belajar bersama alam. Saya
lebih banyak mengenalkan anak-anak dengan lingkungan mereka yang kaya dengan
hasil lautnya walaupun yang saya lakukan sederhana sekali. Karena pada saat itu
saya juga ikut belajar bersama mereka yang notabenenya mereka adalah anak-anak
yang cerdas dan kreatif. Mereka adalah anak-anak yang mandiri walaupun hanya
anak SD, mereka pintar sekali mencari kepiting, menjala udang bahkan mencari
kapah sejenis kerang apalagi memanjat pohon kelapa mereka sangat jago sekali.
Dari sinilah pada saat saya mengajarkan mereka diluar kelas saya mulai
memotivasi mereka bahwa sesungguhnya kalian itu lebih hebat dari anak-anak kota
kalian mempunyai potensi yang besar untuk merubah tatanan kehidupan dari hanya
seorang anak nelayan bisa menjadi yang lebih dari orang tua kalian. Kalian bisa
menempuh Pendidikan bukan hanya sekolah dasar saja tapi kalian bisa kuliah dan
menjadi sarjana karena kalian itu mampu menguasai alam pesisir pantai. Tiap
waktu tiap hari selalu saya motivasi mereka dengan kata-kata bahwa kalian bisa
kalian mampu. Hingga terkadang saya bosan juga lelah namun saya tetap semangat
dan harus bisa merubah keadaan anak-anak disana bahwa sesungguhnya Pendidikan
itu sangat penting.
Alhasil, selama kurun dua tahun saya mengabdi
didesa tersebut mulai terlihat semangat orang tua mereka untuk menyekolahkan
anaknya ketingkat selanjutnya yaitu SMP, SMA dan mengikuti perguruan tinggi.
Itu dikarenakan pemerintah daerah mulai memperhatikan desa tersebut dan mulai
membuka akses untuk menuju kedesa tersebut. Padahal saat akses jalan belum
dibuka sebagian murid saya yang lulus dari SD tanjung batu harus rela tinggal
dikota untuk melanjutkan SMP dikota dan harus berpisah dengan orang tua mereka.
Alhamdulillah, saya mulai merasakan betapa bahagianya hati ini perjuangan untuk
meyakinkan mereka tidak sia-sia bahkan orang tua merekapun sangat antusias
untuk menyekolahkan anak-anaknya kejenjang selanjutnya. Bahkan salah satu murid
saya tidak akan saya sebutkan namanya saat ini sudah mengenyam S2 di Makassar
dan alhamdulillah sudah selesai. Hampir semua anak-anak SD tanjung batu
meneruskan sekolahnya hingga kuliah itu dikarenakan akses untuk kuliah sangat
dekat tepatnya Universitas Borneo dibangun diwilayah pantai Amal.
Hal
yang membuat saya sangat sedih dan Bahagia adalah Ketika saya harus Kembali
kekota dikarenakan masa tugas saya sudah berakhir. Perpisahan itu sangat menyedihkan
harus meninggalkan mereka disaat mereka lagi semangatnya berjuang meraih masa
depan. Pada saat itu saya hanya tersenyum dan mengatakan kalian jangan menyerah
teruslah buktikan bahwa anak pesisir juga
bisa bersekolah lebih tinggi dan bisa sejajar dengan anak-anak dikota bahkan
lebih dari itu. Tentunya, yang namanya perpisahan pastilah mengharukan biasalah
terharu biru dengan berlinang air mata. Disisi yang lain kebahagiaan yang saya
rasakan disaat itu adalah saat saya kuliah untuk melanjutkan kejenjang S1 PGSD
diUniversitas Borneo dimana saat itu saya hanya tamatan D2 PGSD dan diharuskan
melanjutkan ke S1 agar nantinya saya bisa mengikuti sertifikasi. Saya
melanjutkan kuliah pada tahun 2007 disaat yang sama saya bertemu mereka iya
mereka anak-anak didik saya disaat saya mengajar ditanjung batu. Entah, apa
yang membuat hati ini terharu dan Bahagia bisa bersama-sama mereka kuliah
dengan jurusan yang sama, ya Allah mereka ternyata ada juga yang menginginkan
menjadi guru seperti saya. Yang membuat saya lebih terharu kenapa kalian ingin
menjadi guru seperti bapak, jawab mereka kami ingin lebih hebat seperti bapak
dan akan mengajar didesa kami, semakin berlinanglah air mata mendengarnya.
Sungguh proses itu tidak akan mendustai hasil
dimana jika kita ada keikhlasan untuk mewujudkan sesuatu maka Tuhan tidak akan
diam Dia akan mewujudkannya dengan doa dan harapan yang kita panjatkan.
Sekelumit kisah ini sebenarnya Panjang dan penuh liku namun dengan kisah
inspiratif saya yang singkat ini semoga
dapat menjadi motivasi bagi kita khususnya guru yang ditugaskan ditempat
terdalam. Kita sebagai guru adalah penggerak bagi mereka anak-anak yang
tertinggal karena mereka adalah anak-anak Nusantara yang butuh sentuhan,
motivasi dan kasih sayang juga perhatian yang disejajarkan.
PROFIL PENULIS
Sejak tahun 2000
penulis sudah mengabdikan diri sebagai pendidik, sebagai guru kelas di SDN
Tanjung Batu, pada saat itu sebagai tenaga kontrak dan mengabdi selama 2 tahun
lebih. Pada tahun 2002 penulis ditempatkan di SDN 020 Sebengkok. Tahun 2003
penulis diangkat menjadi guru PNS di pemerintahan kota Tarakan dan di tempatkan
di SDN 006 Kampung 4 Tarakan. Saat ini penulis bertugas di SDN 003 Tarakan dan
mulai bertugas pada tahun 2013 sampai saat ini.
Penulis juga merupakan penulis artikel, ada
beberapa artikelnya yang sudah di muat oleh beberapa media surat kabar lokal
dan daerah. Beberapa artikel yang pernah masuk baru-baru ini adalah “Guru dan
Teknologi harus bijaksana menyikapinya” dan “ Menakar PPDB Sekolah Muhammadiyah
ditengah pandemi Covid-19” yang diterbitkan oleh tabloid Mata Hati Malang Raya
Jawa Timur. Saat ini penulis juga sedang Menyusun pembuatan BBS (buku best
seller).
Penulis bernama Prayudi Ariessanto, S.Pd juga
menjabat sebagai pimpinan Majelis Dikdasmen PDM Tarakan Kalimantan Utara.
Penulis lahir di Tarakan pada tanggal 08 April 1975 dan berdomisili di Jl.
Mulawarman Tarakan Kalimantan Utara 77111. Apabila ingin menghubungi penulis
bisa melalui WA 082153997686 atau email prayudiariessanto052@gmail.com dan bisa juga
berkunjung ke blog penulis dengan alamat prayudiariessanto.blogspot.com.
Gambar 1. Pantai Amal
Gambar 2. Aku saat remaja dan Rumahku saat di SD Tanjung Batu
Gambar 3. SDN Tanjung Batu sekarang berubah menjadi SDN 032 Tarakan
Gambar 4. Penulis Saat Ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar