Artikel
Ikhlas Dalam mendidik Anak Bangsa, Begitu Perlukah ?
19,
November 2016
Oleh :
Prayudi Ariessanto * )
Guru SDN
003 Tarakan
Coba,kita
petik kalimat seorang guru tua dalam cuplikan layar lebar “ Laskar Pelangi ” , Memberilah dengan
Sebanyak-banyaknya, Bukan Menerima dengan Sebanyak-banyaknya kalimat
tersebut tentu bagi kita biasa saja atau mungkin saat kita menonton dan
memaknai kalimatnya tentu sangat biasa dan lewat begitu saja dan tidak tersirat
dihati dan pikiran kita terutama kita sebagai seorang guru. Ketika saya menonton film tersebut sebanyak
dua kali berulang-ulang saya menemukan sesuatu yang sangat luar biasa dari isi
cerita tersebut atau mungkin saya hanya terbawa alur cerita yang sangat
mengharukan sehingga membawa diri saya menjadi suasana biru, mungkin jawabannya
tidak. Itulah sebuah gambaran keikhlasan dari seorang guru yang mau dan rela memberikan ilmunya hanya dengan
sekelompok kecil anak didiknya yang bisa dikatakan anak-anak titipan Tuhan.
Realita
kehidupan sekarang mungkin membawa perubahan arti tentang kehidupan yang
sebenarnya. Dimana manusia berlomba-lomba mencari banyak materi, jabatan serta
kekuasaan namun semua itu wajar dan sah-sah saja asalkan tetap pada koridor
yang telah digariskan yang maha kuasa bukan sekedar pemaksaan diri dan kehendak
nafsu semata. Tentunya, apakah realita kehidupan juga sama diartikan pada
seorang guru, seorang pendidik yang dimana seorang guru adalah memberi, menyampaikan
atau sebagai sarana informasi kepada anak didiknya juga sebagai agen perubahan
yang selalu dan selalu mengadaptasikan diri pada perkembangan jaman di era
global dan teknologi canggih saat sekarang ini. Namun bagaimana guru itu harus
menyikapi tentang arti hidup dalam dirinya?
Mungkin
disinilah akan kita coba telusuri! Dalam hidup seorang guru tentu sama
kehidupannya dengan manusia lainnya bahkan kebutuhan hidup dunia seperti
materi,gaya hidup dan kesenangan pemuas hati tak lepas pada ambisi dalam diri,
juga akan kehidupan mewah tak terlepas seperti, akan gaya kehidupan kebanyakan
walaupun untuk saat ini dan akan datang. Karena seorang guru adalah manusia
yang diciptakan sama oleh manusia yang lainnya hanya saja tugas yang mungkin
membedakan antara satu dan yang lainnya.Kehidupan guru ditentukan oleh status
diri bahwa guru itu orang yang mempunyai tugas yang mulia dimata masyarakat dan
pemerintah tentunya. By the way, saat seorang guru berkompetisi dalam kehidupan
yang serba mewah dengan kecanggihan teknologi dimasa sekarang apakah mereka
dengan mata melongok hanya terpaku dan menonton terdiam melihat itu semua. Saya
rasa tidak atau maybe yes or maybe not,
masa sih segitunya, yah wajarlah kepengen sesuatu namanya juga manusia jangan
sampai ketinggalan kata temen saya gaptek lo.
Oke,
kembali kita serius begini seorang guru tidak menutup kemungkinan akan juga
ikut bersaing dalam kehidupan dimasa sekarang ini wajar toh, emang hanya pegawai
kantoran, wiraswasta dan pengusaha aja yang bisa hidup enak walau gak semuanya
begitu.Terlebih lagi akan kondisi sekarang yang menuntut kita untuk merubah
sesuatu untuk mencapai tujuan yang mapan dan sukses. Seorang guru sangat berhak
untuk berpikir kearah yang lebih baik untuk menjamin kehidupan yang lebih baik.
Namun jangan salah dalam melangkah karena seorang guru dibatasi oleh suatu
budaya yang sudah menjadi keharusan bahwa seorang guru harus memberikan contoh
pada anak didiknya untuk hidup sederhana
sekali lagi sederhana. Kesederhanaan inilah menjadi tolak ukur dalam mencapai
suatu kesuksesan dalam mendidik anak bangsa. Sangat lazim rasanya jika seorang
guru dapat mengaplikasikan dirinya, keluarganya, dan anak didiknya untuk
menjalankan hidup sederhana dalam keseharian. Yang menjadi pertanyaan kita
apakah seorang guru ikhlas menjalankannya dan tidak terpengaruh akan gaya hidup
dijaman era global yang dimana kebutuhan kemewahan semakin menggiurkan mata
atau bisa jadi daya tarik dalam persaingan. By the way, apakah bila kita jadi
seorang yang kaya dan semua materi berkecukupan akankah menjamin kita sukses
mendidik anak bangsa. Disinilah yang menjadi persoalannya, kita tidak akan
pernah puas dan akan terus mengejar yang namanya materi dunia. Jadi
konsekwensinya bagaimana? Ya, kita
sebagai seorang guru juga pendidik harus bisa belajar ikhlas dalam memberi,
menyampaikan, menginformasikan bahkan dengan rela mau mengembangkan diri secara
terus-menerus untuk bisa mewujudkan keberhasilan dalam mendidik anak bangsa.
Saat ini
kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal
masa depan (futurist) mengatakan
sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala
aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Era pengetahuan merupakan suatu era
dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang dan sangat besar pengaruhnya
terhadap dunia pendidikan, psikologi dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara
pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan
peran orang tua/guru/dosen, serta
perubahan pola hubungan antar mereka. Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan
oleh kurikulum atau berbagai faktor
lainnya tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru juga kurang ikhlas
sekali lagi saya tekankan kurang ikhlas dalam memberi sehingga ada keengganan
siswa untuk belajar. Sekarang saya ingin bertanya apa yang paling Anda tekankan
dalam mendidik anak-anak? Prinsip saya mendidik anak-anak ada tiga hal, yaitu
ikhlas, jujur dan sabar. Mari kita simak puisi berikut: Jika anak dibesarkan
dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,Ia
belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar menjadi rendah
diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar untuk menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak
dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar menjadi percaya diri. Jika anak
dibesarkan dengan pujian, Ia belajar
menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, Ia belajar
keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh
kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi
dirinya. Jika anak dibesarkan dengan cinta kasih sayang dan persahabatan, Ia
belajar menemukan cinta dalam kehidupan. (Puisi karya : Dorothy Law Nolte)
judul asli : Children Learn What They Live.
Imam
Al-Mawardi menghendaki bahwa seorang guru benar-benar ikhlas dalam melaksanakan
tugasnya. Mendidik dan mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur,
mengajar dan mendidik, merupakan aktivitas keilmuan yang mempunyai nilai dan
kedudukan yang tinggi, yang tidak bisa disejajarkan dengan materi. Imam
Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motif ekonomi.
Keikhlasan dan kesadaran seorang guru dalam mendidik adalah kesadaran akan
pentingnya tugas, sehingga akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal.
Jadi seorang guru harus memiliki sikap rendah hati serta menjauhi sikap ujub
(besar kepala). Namun menjadi seorang guru bukan menjadi rendah diri ketika
berhadapan dengan orang lain karena sikap ini akan menyebabkan orang lain
meremehkan. Sikap rendah hati dalam diri yang dimaksud adalah mampu
mensederajatkan dengan orang lain dan saling menghargai. Sikap yang demikian
akan menumbuhkan rasa persamaan dan menghormati orang lain, toleransi serta
rasa senasib dan cinta keadilan. Dengan itu kita sebagai guru akan menghargai
muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi atau dengan kata lain merupakan
bagian sumber belajar. Al-Mawardi juga mengistilahkan “ikhlas” sebagai
pembersihan hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkan. Jadi keikhlasan
seorang guru dapat menjadi sebuah agen perubahan dalam pendidikan karena guru
akan ikhlas menjadi inspirator, informator, motivator, fasilitator, mediator
dan inovator. Sekarang dapat kita
simpulkan bahwa makna keikhlasan sekali lagi makna keikhlasan seorang guru
dalam mendidik adalah kesadaran akan pentingnya tugas, sehingga dengan
kesadaran tersebut ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal. Dengan
keikhlasan inilah yang akan menentukan keberhasilan seorang guru dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari, tanpa merasakannya menjadi suatu beban,
melainkan sebaliknya justru merasa bahagia, penuh harapan dan motivasi karena
dari tugas mengajar dan mendidik itu kelak akan mendapatkan pahala setimpal
dari Allah SWT. Nah, begitu perlukah ikhlas dalam mendidik anak bangsa?
bagus artikelnya. lanjutkan
BalasHapusTerima kasih ya
BalasHapus